Senin, 26 Maret 2012

makalah ukuran baik dan buruk


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah
Etika adalah ukuran baik buruknya kebiasaan manusia, etika selalu berhubungan kebiasaan atau watak manusia. Etika juga dapat diartikan sebagai ilmu yang berhubungan dengan budi pekerti, aturan normatif tentang perbuatan manusia. Etika mempunyai fungsi memberi orientasi bagaimana dan kemana harus melangkah dalam hidup ini. Mengingat etika merupakan salah satu fungsi penting dalam kehidupan manusia, kelompok kami menjadi tertarik  untuk membahas beberapa aliran-aliran dalam etika.

1.2 Masalah atau Topik Bahasan Makalah
Berbagai aliran dalam etika (hedonisme, naturalisme, utilitarisme, naturalisme dan theologis)

1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas tentang berbagai aliran dalam etika dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf






BAB II
PEMBAHASAN
Ada beberapa pendapat tentang ukuran baik dan buruk. Ada yang menilainya dengan agama, tradisi, rasio, pengalaman, dan sebagainya. Ternyata ukuran baik dan buruk kelakuan manusia dinamakan Etika. Kata Etika berasal dari bahasa Yunani : ethos dan ethikos yang mempunyai arti sebagai kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Etika juga dapat dikatakan sebagai suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat.
Ada yang mengatakan bahwa di dalam filsafat etika ada berbagai macam aliran. Berikut kami mencoba menguraikan berbagai aliran dalam etika:

2.1  Aliran Hedonisme
Hedonis berasal dari bahasa Yunani hedone yang berarti “kesenangan” atau “kenikmatan”. Aliran hedonisme berpendapat bahwa aliran baik dan buruk adalah kebahagiaan karenanya suatu perbuatan dapat mendatangkan kebahagiaan maka perbuatan itu baik dan sebaliknya perbuatan itu buruk apabila mendatangkan penderitaan. Istilah ini mula-mula dikenalkan oleh Jeremy Bentham pada tahun 1781.
Menurut aliran ini, setiap manusia selalu menginginkan kebahagiaan yang merupakan dorongan dari tabiatnya dan ternyata kebahagiaan merupakan tujuan akhir dari hidup manusia, oleh karenanya jalan yang mengantarkan ke arahnya dipandang sebagai keutamaan (perbuatan mulia / baik).
Maksud dari kebahagiaan dari aliran ini adalah hedone, yakni kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan rasa serta terhindar dari penderitaan. Ada juga yang mengartikan kelezatan adalah ketentraman jiwa yang berarti keimbangan badan. Karenanya kelezatan bagi aliran ini merupakan ukuran dari perbuatan, jadi perbuatan dipandang baik menurut kadar kelezatan yang terdapat padanya dan sebaliknya perbuatan itu buruk menurut kadar penderitaan yang ada padanya.
Aliran hedonisme, bahkan tidak hanya mengajarkan agar manusia mencari kelezatan, karena pada dasarnya tiap-tiap perbuatan ini tidak sunyi dari kelezatan tetapi aliran ini justru menyatakan hendaklah manusia itu mencari sebesar-besar kelezatan, dan seandainya dia disuruh memilih diantara beberapa perbuatan wajib ia memilih yang paling besar kelezatannya.
Maksud paham ini adalah manusia hendaknya mencari kelezatan sebesar-besarnya dan setiap perbuatannya diarahkan pada kelezatan. Jika terjadi keraguan dalam memilih suatu perbuatan harus diperhitungkan banyak sedikitnya kelezatan dan kepedihannya.
Aliran hedonisme terbagi menjadi dua:
1)Egoistic Hedonisme
Dalam aliran ini dinyatakan bahawa ukuran kebaikan adalah kelezatan diri pribadi orang yang berbuat, karenanya dalam aliran ini mengharuskan kepada para pengikutnya agar mengerahkan segala perbuatannya untuk mengahasilkan kelezatan tersebut yang sebesar-besarnya.
2)Universalistic Hedonisme
Aliran ini mendasarkan ukuran dan buruk pada “kebahagiaan umum”. Aliran ini mengharusakan agar manusia dalam hidupnya mencari kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sesama manusia dan bahkan pada sekalian mahkluk yang berperasaan. Jadi baik buruknya sesuatu didsarkan atas ada keseangan atau tidaknya sesuatu itu bagi umat manusia. Kalau memang sesuatu itu lebih banyak kelezatannya dan membawa kemanfaatan maka hal itu baik tapi sebaliknya kalau membawa akibat penderitaan maka hal itu berarti buruk.



2.2  Aliran Naturalisme
Aliran etika naturalisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa kebahagiaan manusia itu diperoleh dengan menurutkan panggilan natural (fitrah) kejadian manusia.
Yang menjadi ukuran baik atau buruk adalah :”apakah sesuai dengan keadaan alam”, apabila sesuai fitrah maka itu dikatakan baik, sedangkan apabila tidak sesuai dengan fitrah dipandang buruk.
Berikut ini terdapat beberapa pemikiran naturalisme yaitu:
-          Semua yang berada di dunia menuju pada tujuan tertentu. Memenuhi panggilan alam menuju pada suatu kesempurnaan. Benda-benda dan tumbuhan menuju pada satu tujuan dan dicapai secara otomatis tanpa pertimbangan dan perasaan
-          Hewan mencapai tujuannya melalui naluri, sedangkan manusia melalui akalnya karena itulah yang menjadi perantara untuk mencapai kesempurnaan.

2.3  Aliran Idealisme
Istilah idealisme berasal dari bahasa Gerika ( Yunani ), yaitu dari kata “ idea “, yang secara etimologis berarti; akal, pikiran, atau sesuatu yang hadir dalam pikiran, atau dapat juga disebut sesuatu bentuk yang masih ada dalam alam pikiran manusia.
 Pada pokoknya aliran ini sangat mementingkan eksistensi akal pikiran manusia, sebab akal pikiran manusia inilah yang menjadi sumber ide.
Pengertian idealisme yaitu meliputi sejumlah besar sistem serta aliran kefilsafatan yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang besar antara yang satu dengan yang lain. Ciri pengenalan umum yang menunjukkan kesamaan yang dipunyai oleh sistem-sistem aliran-aliran tersebut ialah bahwa semuanya mengajarkan tentang pentingnya jiwa atau roh.
Menurut idealisme manusia pada dasarnya merupakan makhluk rohani. Sebuah contoh yang jelas mengenai idealisme ialah filsafat Hegel, yang menurut pendiriannya kenyataan berupa ide, roh akal atau pikiran. Maka menurut idealisme, nilai serta harkat manusia didasarkan atas kenyataan bahwa ia merupakan wahana roh dan berhakekat kejiwaan. Paham ini menganggap bahwa roh mempunyai kekuasaan yang besar, dan berpendapat bahwa dalam bapak terakhir bukan hanya manusia, melainkan kenyataan yang didalamnya ia hidup dan ikut ambil bagian ditentukan oleh faktor-faktor rohani. Tetapi, penganut-penganut paham ini jarang ada yang berpendapat bahwa kenyataan tersebut semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor rohani, pada umumnya mereka menerima suatu dualisme, yaitu dualisme antara roh dan alam, antara kerohanian dan kejasmanian, namun senantiasa menganggap roh mempunyai nilai tertinggi serta kekuatan besar.
Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant (1725-1804). Pokok-pokok pandangannya adalah sebagai berikut:
a.       Wujud yang paling dalam dari kenyataan (hakikat) adalah kerohanian. Seseorang berbuat baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain, melainkan atas dasar kemauan sendiri atau rasa kewajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang lain, perbuatan baik itu dilakukan karena adanya rasa kewajiban yang terdapat dalam nurani manusia.
b.      Faktor yang paling penting mempengaruhi manusia adalah ”kemauan” yang melahirkan tindakan yang konkret. Adapun pokoknya disini adalah ”kemauan yang baik”.
c.       Kemauan yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakannya, yaitu ”rasa kewajiban”.
 Maka dari itu, ada macam-macam pengelompokan. Namun pengelompokan yang paling berfaedah tinggi ialah pengelompokan yang didasarkan atas perbedaan dalam kemampuan rohani yang diutamakan, yaitu pikiran, perasaan, ataukah kehendak. Dengan demikian macam-macam pengelompokan aliran idealisme dibagi menjadi tiga, yaitu Idealisme Rasionalistik, Idealisme Estetik, Idealisme Etik.
1.      Idealisme rasionalistik
Bahwa dengan menggunakan pikiran dan akal, manusia berusaha mengenal norma-norma bagi perilakunya, dan dengan demikian dapat sampai pada pemahaman tentang mana yang baik dan mana yang buruk , dan sebagai akibatnya dapat memahami apa yang boleh dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan. Didalam sejarah etika pendapat semacam itu berkali-kali ditemukan  dalam salah satu bentuknya. Umpanya semboyan kaum Stoa  bahwa kita harus hidup dengan alam. Alam disini diartikan sama dengan akal budi, maka maksud semboyan tersebut adalah  bahwa manusia hidup dengan memakai akal budinya
Karena akal tidak dapat menetapkan tujuan bagi perbuatan, penetapan tujuan ini harus dilakukan secara lain. Manakala sekali tujuan telah ditetapkan, maka akallah yang yang bertugas menunjukkan jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tersebut. Pikiran hanya menunjukkan sarana-sarana . bukan tujuan perbuatan.Etika rasionalistik memberikan seakan-akan tujuan yang diterapkan nya diperoleh secara akali dalam kenyataan yang sebenarnya diperoleh secara lain.
2.      Idealisme Estetik
Yang lebih tersebar luas dibandingkan dengan rasionalistik atau rasionalisme ialah idealisme estetik atau estetisisme dalam etika. Paham ini hendak mendekatkan perbuatan susila pada seni, dalam hal ini keinsyafan kesusilaan seakan-akan menjadi masalah citarasa. Tidaklah mengherankan jika para penganutnya sangat menghargai seni, khususnya keindahan, dan menganggap pemberian bentuk estetik sebagai hal yang sangat penting. Namun, ciri pengenal estetisisme ialah pendiriannya bahwa dunia, kehidupan, dan khususnya kehidupan manusia dipandang sebagai karya seni. Dunia ini merupakan ” kosmos ”, yang secara harfiah berarti kehidupannya juga merupakan karya seni atau setidak-tidaknya dapat menjadi karya seni.
3.      Idealisme Etik
Idealisme etik bertolak dari kenyataan kesusilaan, dan atas dasar tersebut menyusun pandangannya tentang dunia dan tentang kehidupan. Paham ini mengakui adanya lingkungan norma-norma moral yang berlaku bagi manusia dan yang menuntut manusia untuk mengujudkannya. Pertama-tama manusia itu dipandangnya sebagai makhluk susila, artinya, sebagai makhluk yang mempunyai keinsyafan akan baik dan buruk, dapat mengerjakan yang baik dan tidak mengerjakan yang buruk. Namun mengalami juga adanya kekuatan penentang yang besar yang terdapat di dalam maupun di luar dirinya, yang sedikit banyak dapat dikalahkannya. Sementara itu paham ini berpendirian bahwa di dalam semuanya itu terletak nilai dan harkat manusia. Sebuah contoh megah dari idealisme semacam ini adalah ajaran Kant, yang intinya berupa ajaran tentang imperatif kategorik, amar wajib tanpa syarat, amar ”dikau wajib” yang mutlak, namun yang didalamnya tersisa juga empat bagi ”keburukan radikal” yang terdapat dalam diri manusia, meskipun dalam babak terakhir hal ini megacu kepada alam kekebebasan.
Idealisme semacam ini juga dianut oleh orang-orang lain dalam bentuk yang lain. Menurut mereka tidaklah perlu bahwa umar tersebut, seperti yang diajarkan Kant, tetap bersifat formal dan tanpa isi; ada pula idealisme etik yang mengakui norma-norma tertentu. Salah satu contoh adalah etika nilai yang telah dipaparkan di depan, yang didalamnya norma-norma moral dijabarkan dari nilai-nilai kesusilaan yang berlaku, seperti, misalnya, keadilan, keberanian, dan sebagainya. Dalam hubungan ini kita juga ingat idealisme dalam arti yang umum sehari-hari. Penggunaan bahasa sehari-hari mengartikan kata ”idealisme” sebagai sesuatu keyakinan akan ada idaman-idaman yang bersifat pribadi dan kemasyarakatan, yang sepenuhnya mempengaruhi manusia serta menunututnya akan dijelmakan. Dengan demikian idaman-idaman.tersebut menghendaki agar manusia mengujudkannya. Sementara itu pengujudan tersebut hanya dapat terjadi dengan kerja keras, perjuangan serta pengorbanan, dan karenanya biasanya hanya sebagian yang berhasil. Namun demikian usaha yang sungguh-sungguh itu sendiri sudah memberikan makna serta isi kepada kehidupan, karena dalam hal ini yang penting bukanlah berhasil-tidaknya, melainkan usahanya itu sendiri.

2.4  Aliran Utilitarisme
Utilitarisme berasal dari kata “utility” artinya kemanfaatan, kegunaan dan kefaedahan. Dengan demikian, menurut aliran ini sesuatu dikatakan baik ketika itu bermanfaat, berfaedah atau berguna. Aliran ini memberikan suatu norma bahwa baik buruknya suatu tindakan oleh akibat perbuatan itu sendiri. Tingkah laku yang baik adalah yang menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dibandingkan dengan akibat-akibat buruknya. Setiap tindakan manusia harus selalu dipikirkan, apa akibat dari tindakannya tersebut bagi dirinya maupun orang lain dan masyarakat.Utilitarisme mempunyai tanggung jawab kepada orang yang melakukan suatu tindakan, apakah tindakan tersebut baik atau buruk.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Jeremi Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873).Menurut Bentham kehidupan manusia ditentukan oleh dua ketentuan dasar nikmat (pleasure) dan perasaan sakit (pain). Oleh karena itu, tujuan moral tindakan manusia adalah memaksimalkan perasaan nikmat dan meminimalkan rasa sakit.
Pokok-pokok pandangan aliran utilitarisme menurut John Stuart Mill adalah sebagai berikut:
a.       Baik buruknya suatu perbuatan atas dasar besar kecilnya manfaat yang ditimbulkan bagi manusia.
b.      Kebaikan yang tertinggi (summun bonum) adalah utility (manfaat).
c.       Segala tingkah manusia selalu diarahkan pada pekerjaan yang membuahkan manfaat yang sebesar-besarnya.
d.      Tujuannya adalah kebahagiaan (happiness) orang banyak. Pengorbanan misalnya dipandang baik jika mendatangkan manfaat.
Utilitarisme dibagi menjadi dua jenis :
 1.Utilitarisme perbuatan (act utililitarianism)
Menyatakan bahwa kita harus memperhitungkan, kemudianmemutuskan, akibat-akibat yang dimungkinkan dari setiap tindakanaktual ataupun yang direncanakan
2.Utilitarisme aturan (rule utilitarianism)
Menyatakan bahwa kita harus mengira-ngira, lalu memutuskan, hasil-hasil dari peraturan dan hukum-hukum.
Aliran utilitarisme ini seringkali dikaitkan dengan aliran hedonisme yang berasal dari kata Hedone (kesenangan dalam bahasa Yunani) yang mulai tercatat timbul antara akhir abad 4 dan awal abad 3SM di kota Cyrenaics dengan dipelopoti oleh Aristipus (400-350), seorang sahabat Aristoteles.Karena lahir dikota itu, aliran ini disebut sebagai aliran cyrenaic hedonism.

2.5  Aliran Theologis
            Kata teologi berasal dari bahasa yunani yaitu dari kata theos dan logia. Theos itu sendiri berarti Tuhan (Allah), dan logia berarti kata-kata, ucapan, atau wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama. Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan.
Jadi prinsip atau asas etika menurut aliran Theologis adalah bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia, adalah didasarkan atas ajaran Tuhan, apakah perbuatan itu diperintahkan atau dilarang oleh-Nya. Segala perbuatan yang diperintahkan oleh Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan yang buruk, dimana ajaran-ajaran tersebut sudah dijelaskan dalam kitab suci (Al-Quran).
Sejarah singkat etika teologis:
Etika pertama kali ada mulai sejak abad pertama, namun etika terebut tidak secara khusus dipelajari. Namun seiring berjalannya waktu, pokok-pokok etikapun dibuat. Tokoh-tokoh yang mulai memberikan pemikiran pada pembuatan pokok-pokok itu seperti; Tertullianus yang menulis tentang hal-hal apa saja yang boleh dilakukan oleh seorang Kristen, Ambrosius yang fokus pada etika yang mengatur tentang kewajiban-kewajiban para pejabat, dan Agustinus yang fokus pada etika tertentu yaitu;tentang kesabaran, tentang dusta karena terpaksa, dan sebagainya.
Kemudian dalam abad pertengahan, hal-hal tentang etika dibicarakan lagi dalam “Libri poenitentiales” (kitab-kitab mengenai pengakuan dosa) Di masa reformasi, ketiga tokoh reformator (Luther, Calvin, dan Zwingi) juga memberikan suaranya mengenai etika politik dan etika jabatan. Selain tokoh reformator, ada juga Schleiermacher yang baginya etika mencoba menerangkan tentang kehidupan orang-orang beriman. Di abad ke-19 dan awal 20, banyak orang yang mengikutinya. Berbeda dengan Kuyper yang menurutnya etiak itu termasuk golongan dogmatika dan dapat diuraikan secara khusus. Dan pendirian ini dipertahankan oleh Prof. Dr. W. Geesink dan Prof. Karl Bath.
Bertolak dari sejarah yang diuraikan, etika teologis juga dapat diartikan sebagai sebuah etika yang bertolak dari praanggapan-praanggapan tentang Allah/ilahi. Sehingga, secara singkat dapat dikatakan bahwa etika teologis adalah sebuah etika yang didasarkan atas unsur-unsur agama. Etika teologis memiliki sifat transempiris yaitu pengalaman manusia dengan Allah yang melampaui kesusilaan tidak dapat diamati manusia dengan pancainderanya. Karena etika teologis berhubungan dengan Allah, maka sumber utama yang dijadikan bagi etika ini ialah Al-Quran dan alat bantu lainnya seperti hadist-hadist yang mendasarinya.  






BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Etika dapat dikatakan sebagai suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat. Ada beberapa aliran dalam etika, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.      Aliran Hedonisme
Aliran hedonisme berpendapat bahwa aliran baik dan buruk adalah kebahagiaan karenanya suatu perbuatan dapat mendatangkan kebahagiaan maka perbuatan itu baik dan sebaliknya perbuatan itu buruk apabila mendatangkan penderitaan.
b.      Aliran Naturalisme
Aliran etika naturalisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa kebahagiaan manusia itu diperoleh dengan menurutkan panggilan natural (fitrah) kejadian manusia.
c.       Aliran Idealisme
Pada pokoknya aliran ini sangat mementingkan eksistensi akal pikiran manusia, sebab akal pikiran manusia inilah yang menjadi sumber ide.
d.      Aliran Utilitarisme
Menurut aliran ini sesuatu dikatakan baik ketika itu bermanfaat, berfaedah atau berguna. Aliran ini memberikan suatu norma bahwa baik buruknya suatu tindakan oleh akibat perbuatan itu sendiri.
e.       Aliran Theologis
Etika menurut aliran Theologis adalah bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia, adalah didasarkan atas ajaran Tuhan, apakah perbuatan itu diperintahkan atau dilarang oleh-Nya.

makalah tradisi minangkabau


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sumatera atau Sumatra adalah pulaukeenam terbesar di dunia yang terletak di Indonesia, dengan luas 443.065,8 km2. Penduduk pulau ini sekitar 42.409.510 jiwa (2000). Pulau ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa (bahasa Sanskerta, berarti "pulau emas"). Kemudian pada Prasasti Padang Roco tahun 1286 dipahatkan swarnnabhūmi (bahasa Sanskerta, berarti "tanah emas") dan bhūmi mālayu ("Tanah Melayu") untuk menyebut pulau ini. Selanjutnya dalam naskah Negarakertagama dari abad ke-14 juga kembali menyebut "Bumi Malayu" (Melayu) untuk pulau ini.[1]
Minangkabau disingkat Minang adalah kelompok etnikNusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri). [2]
Selain itu Desa yang disebut nagari dalam Bahasa Minangkabau kadang-kadang terdiri dari dua bagian utama, yaitu daerah nagari dan daerah taratak.Nagari ialah daerah kediaman utama dan dianggap pusat bagi sebuah desa.Halnya berbeda dengan Taratak yang dianggap sebagai daerah hutan dan ladang.Nagari adalah suatu unit pemerintahan terendah di Provinsi Sumatera Barat, bahwa sebutan unit pemerintahan terendah di wilayah Republik Indonesia dapat disesuaikan dengan peristilahan daerah masing-masing sesuai dengan kondisi budaya setempat, seperti sebutan Desa daerah Lampung.[3]Penghidupan penduduk Minangkabau masa dahulu yang terutama bersawah dan berladang. Penduduk pesisir lain dari bertani, mata pencariannya ialah menangkap ikan dan di dalam daerah yang kekurangan tanah diusahakan orang pekerjaan tangan dan pertukangan. Dalam penulisan makalah kali ini penulis memfokuskan bagaimana Munculnya Nasionalisme di Minangkabau dan Tuanku Imam Bonjol.Untuk memberikan pemfokusan dalam kajian kali ini, penulis akan memberikan batasan masalah dalam bentuk rumusan masalah. Rumusan masalah ini akan di sajikan pada point selanjutnya
B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Munculnya Nasionalisme di Minangkabau?
b.      Tokoh Nasionalisme di Minangkabau?
c.       Peranan Tuanku Imam Bonjol?
C.    Tujuan dan manfaat Penelitian
a.       Untuk mengetahui munculnya Nasionalisme di Minangkabau
b.      Untuk memahami perjuangan tokoh nasionalisme di Minangkabau?
c.       Untuk mengetahui peranan Tuanku Imam Bonjol
D.    Kerangka Teori
Teori-teori Nasionalisme
Menurut Anthony D. Smith, definisi kerja nasionalisme adalah “suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk ‘bangsa’ yang aktual atau ‘bangsa’ yang potensial”.Menurut Smith, sasaran umum tempat nasionalisme berupaya mempertinggi derajat bangsa adalah: otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional.[4]Perbedaan Teori Marx dan Gellener sebagai hak yang sering dengan proses Industralisasi. Teori Marx menjadikan nasionalisme mempunyai nilai lebih.
E.     Metode Penelitian
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal penyusunan makalah Penulis langsung ke perpustakaan.Penelitian ini menggunakan pendekatan diakronis Pendekatan tersebut dilakukan dengan metode Pengamatan yang dilakukan.Dokumentasi didapatkan dari buku dan internet.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian sejarah yang terdiri dari berbagai empat tahap:[5]
a.       Heuristik
Tahap Heuristik merupakan tahap pencaharian dan pengumpulan dari berbagai sumber baik yang tertulis atau tercetak (dokumen) maupun yang tidak tertulis, baik primer maupun sekunder.Penulis hanya mengacu pada buku-buku perpustakaan dan dari hasil di intenet, yang menyangkut dengan Munculnya Nasionalisme di Minangkabau.
b.      Kritik
Kritik merupakan meneliti sumber, memverisifikasi dan menyeleksi sumber yang telah di peroleh.kritik sumber, merupakan pengujian  terhadap sumber-sumber yang telah diperoleh. Kritik sumber dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern adalah kritik yang melihat kondisi fisik yang telah ditemukan layak atau tidak sebagai sumber dan untuk mengetahui otentisitas sumber tersebut lebih pada hal-hal yang bersifat materiil seperti jenis kertas, stempel, bentuk huruf, tinta yang digunakan, temporal penulisan, yang dikehendaki, asli atau turunan, dan utuh atau berubah, lengkap tidaknya sumber dan sebagainya. Kritik intern adalah Subtansial, hakikat dari sebuah sumber.Kritik Intern yang dilakukan untuk mengetahui sifat sumber, kesaksian dari sumber, koborasi dan komporasi, kredibilitas dan keakuratan isi sumber yang diperoleh seperti.Dari segi ekstern otentisitas sumber yang didapat tidak diragukan karena didapatkan dari tempat-tempat yang berkompeten yang berada didalam Museum Konferensi Asia Afrika, selembaran yang dikasih dan perpustkaanya.
c.       Interprestasi
Tahap ini merupakan usaha untuk memahami fakta sejarah, memilah dan menetapkannya sebagai sumber, serta menyusun fakta tersebut berdasarkan kronologi peristiwa yang saling berkaitan.Tahap ini dimaksudkan untuk memahami makna yang sebenarnya dari bukti-bukti sejarah yang telah dinilai secara akurat.Hal ini bertujuan untuk membuat hubungan dan merangkaikan fakta sejarah yang sejenis dan kronologis untuk memperoleh alur cerita.
d.      Histografi
Historiografi merupakan kegiatan penulisan sejarah merekonstruksi peristiwa sejarah ke dalam bentuk tertulissehingga dapat dipahami oleh pembaca dengan baik.sumber-sumber sejarah yang ditemukan, dianalisis, dan ditafsirkan selanjutnya ditulis menjadi suatu laporan.
F.     Sistematika Penulisan
Supaya ada gambaran yang utuh mengenai keseluruhan isi laporan, maka perlu dibuat sistematikanya sebagai berikut;
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penelitian
D.    Kerangka Teori
E.     Sistematika Penelitian
F.      Metodelogi Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III PEMBAHASAN
A.    Munculnya Gerakan Nasionalisme di Minangkabau
B.     Biografi Tuanku Imam Bonjol
BAB IV PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Definisi Nasionalisme
Dalam pengertian sosiologis dan antropologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa sebagai satu ras, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat.[6]
Robert Emerson mendefinisikn naionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan.[7]
B.     Beberapa bentuk Nasionalisme yaitu:[8]
Nasionalisme kewarganegaraan (nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, “kehendak rakyat”, “perwakilan politik”. Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-jacques rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudul Du Contact Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia “mengenai kontrak sosial”).
Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat.Dibangun oleh Johan Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk “rakyat”).Kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik.Misalnya “Grimm Bersaudara” yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna kulit, ras, dan sebagainya.
Makna Nasionalisme Istilah nasionalisme digunakan dala rentang arti yang kita gunakan sekarang adalah Suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa, Suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa bersangkutan, Suatu bahasa dan simbolisme bangsa, Suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan, dan suatu doktrin atau ideologi bangsa, baik yang umum maupun yang khusus.
C.    Faktor-Faktor yang mempengaruhi Gerakan Nasionalisme[9]
·         Faktor Intern
a.       Kenangan kejayaan masa lampu
b.      Perasaan senasib dan sepenanggungan akibat penderitaan dan kesengsaraan masa penjajahan
c.       Munculnya golongan cendekiawan
·         Faktor Eksternal
a.       Kemenangan Jepang atas Rusia (1905)
b.      Gerakan Kebangsaan Filipina
c.       Munculnya Paham-paham baru









BAB III
PEMBAHASAN
A.    Munculnya Nasionalisme di Minangkabau
Munculnya gerakan Nasionalisme minangkabau pada tahun 1833, gerakan ini terjadi karena adanya kesinambungan kepemimpinan, upaya paling awal orang-orang Minangkabau untuk mengusir Belanda dari pantai mereka, yaitu peranan menonjol guru dan murid Islam. Di pelabuhan-pelabuhan pantai seperti pariaman dan ulakan di desa-desa dataran rendah. Pada tahun awal 17000an guru-guru tarekat berada digaris depan dalam semua perjuangan untuk mengusir Belanda dari Padang. Pada tahun 1784 mereka melakukan serbuan massal dari dataran tinggi ke Padang. [10]
Sumber kepemimpinan lain untuk gerakan anti-Belanda Pada tahun 1833 berasal dari keluarga raja-raja Minangkabau. Beberapa diantaranya rupanya sudah kesal dengan hubungan dagang mereka dengan voc dan ingin ikut serta dalam jaringan dagang yang lebih terbuka. Untuk mencapai ini, keluarga raja pada waktu-waktu tertentu bersedia bekerjasama dengan guru-guru Islam dan murid-murid mereka. Pada tahun 1713 desa bernama Pau berhasil memperoleh dukungan kemekan Raja Alam Minangkabau yaitu Raja Suruaso berencana untuk menghalau Belanda dari Padang dan membuka pelabuhan untuk perdagangan bebas. Dari tahun 1750-sampai 1770-an, raja Alam sendri ikut serta dalam gerakan-gerakan anti Belanda. Mereka tidak melakukan kekuatan senjata, melainkan mengadakan perundingan diplomatik dengan Inggris di Bengkulen. Raja Alam berharap yang sia-sia bahwa Inggris bisa dibujuk untuk membantu Minangkabau mengusir Belanda, Paling Tidak dari Pariaman dan Tiku.[11]
Ungkapan perasaan nasional Minangkabau tidak hanya terhadap pada sikap bermusuhan terhadap Belanda. Pada Akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, penduduk Minangkabau dipantai Timur Sumatra juga menunjukan rasa tidak suka yang sama didominasi dalam perdagangan wilayah itu. Pada tahun 1680-an terjadi pemberontakan melawan Johor yang dipimpin perorangan yang benar-benar bukan anggota keluarga raja.
Pemberontakan tahun 1833 adalah pemberontakan terakhir yang bercirikan kepemimpinan anggota keluarga raja Minangkabau. Sesudah tahun itu, garis keturunan raja berangsur-angsur mati. Pemberontakan besar setelah sesudah tahun 1833 terjadi pada tahun 1908, faktor yang memicu pemberontakan ini adalah pemberlakuan pajak moneter. Di sisi  lain, kepemimpinan gerakan anti pajak yang dipegang kukuh oleh guru-guru tarekat ini dibantu oleh penghulu suku tertentu. Bahkan kesinambungan geografis juga dipertahankan dengan daerah Agam sebagai pusat gerakan anti pajak. Agam dengan konsisten menunjukan sikap bermusuhan terhadap Belanda sejak tahun 1821. Para pemimpin Minangkabau yang menonjol dalam gerakan nasionalisme se-Indonesia adalah orang-orang yang menjadi Islam sadar atau bagian dari kelompok elit yang berpendidikan barat. Dalam kedua hal ini, wakil-wakil kebanyakan dari desa-desa yang sama di Agam yang sudah begitu lama berjuang melawan Belanda. Pembedaan regional antara Agam dan Tanah Datar berlanjut sampai gerakan nasionalisme se-Indonesia, sebelum menjalin permitraan dagang dengan orang-orang Eropa yang baru tiba. [12]
Adanya Ur-nasionalisme yang terus menerus di Minangkabau memang jelas, seperti halnya dengan geografi nasionalisme. Tahun 1833 adalah pemberontakan menurut tradisi Minangkabau walaupun waktunya merupakan produk situasi sejarah yang khusus. Pada tahun 1833, dataran Tinggi Minangkabau sudah mengalami campur tangan Belanda dalam pemerintahan mereka selama 12 tahun. Campur tangan ini justru menjadi beban berat bagi desa-desa paling ingin bersekutu dengan Belanda. Para pejabat Belanda mendapat kesan bahwa di desa-desa ini pun orang-orang Eropa tidak disukai dan dipandang rendah.
Perasaan tidak puas diseluruh dataran Tinggi disebabkan oleh kebencian terhadap cukai pasar yang dirasakan univesal. Lainya penolakan kebijakan Belanda yang mempersyaratkan apa yang disebut jasa kuli. Desa-desa diwajibkan untuk menjadi pemasok tenaga kerja, baik untuk pembangunan jalan baru, rumah sakit atau untuk mngantarkan barang. Tiap distrik diminta untuk menyediakan sejumlah makan dan peralatan yang disediakan oleh desanya. Perubahan yang berhubungan dengan sistem penghulu. Hal ini mengakibatkan timbulnya rasa benci terhadap sistem baru diantara mereka yang sebetulnya bisa menjadi pendukung sistem itu. Selain itu juga Belanda mencoba ikut campur tangan dalam usahanya mengurangi keuntungan yang bisa diperolehnya. Belanda juga menuai kebencian di desa-desa padri karena menaruh pasukan masjid-masjid yang merupakan gedung terbesar disemua desa juga tidak menyukai kewajiban menerima dan memberi makan serdadu sebagai hukuman bagi yang keras kepala menentang Belanda. [13]
Ada juga keluhan-keluhan yang khusus bersifat ekonomi. Belanda berniat melibatkan diri dalam usaha menghasilkan dan memperdagangkan kopi. Mengekspor gambir dan kopi kepangkalan kota baru dan pantai timur. Upaya menutup rute dagang utama ke timur dan mengalihkannya ke Padang.
Pemberontakan yang pertama meletus di Bonjol pada tahun 1833. pada mulanya pemberontakan ini hanya terbatas di daerah yang berdekatan dengan daerah yang fanatik padri, yaitu Rao, Alahan Panjang, dan Agam Utara. Kepemimpinan inti pemberontakan padri mendapatkan tambahan yang berarti dengan ikut sertanya keluarga raja dalam pemberontakan ini. Pada bulan Febuari 1833 secara terbuka Ali Basa menunjukan sikap meremehkan beberapa perwira Belanda. Ia dilaporkan berbicara tentang dirinya sebagai seorang calon Raja Alam. Pengakuan itu tentu pengertian bahwa ia akan menggunakan pasukannya untuk mengusir Belanda dari dataran tinggi Minangkabau. Akhir Februari 1833 ia merayakan berakhirnya bulan puasa di Pagarruyung, ibukota kerajaan masa lalu, sebagai isyarat menentang pemerintahan Belanda. Menjelaskan kedudukanya kepada keluarga-keluarga paling penting di Tanah Datar. Ia mengundang penghulu yang terkemuka di Lembah itu untuk berteu dan bersantap bersama.
Malang bagi Ali Basa, sebelum kelompok Minangkabau yang terpecah belah bisa bersatu untuk melanjutkan recana mereka melawan Belanda dan mendukungnya dengan pemberontakan yang mencangkup baik Tanah Datar maupun Agam, ia menjadi korban strategi Belanda yang memancing turun ke Padang.  Belanda membujuk Ali Basa pergi dengan alasan untuk merekut lebih banyak tentara Jawa bagi pasukanya. Dia kembali ke Sumatra dengan 200 tentara baru pada bulan Agustus 1833. Akan tetapi, dengan tak terduga dan rasa kesal ia membawa seratus pasukannya untuk di turunkan di sebuah pemukiman terpencil di Bengkule. Ia tinggal sampai ajalnya tiba pada tahun 1854, selalu dibawah pengawasan dan tidak pernah di rehabilitasi. [14]
Ali Basa meninggal warisan politik di Minangkabau. Regen Tanah Datar, Sultan Alam Bagagar Syah mempunyai semua alasan untuk merasa tidak puas terhadap perlakuan Belanda terhadap keluarga Raja. Tidak saja tindakanya dan penghasilannya yang diawasi dengan ketat, tetapi juga selalu diingatkan bahwa dia hanya boneka di tangan orang-orang Eropa. Pada tahun 1832, kepemimpinan Padri merupakan faktor yang jauh lebih penting dalam masyarakat Minangkabau daripada sisa-sisa kerajaan pada zaman lampau. Keluarga raja tidak bisa memonopoli hubungan masyarakat dengan orang-orang Eropa karena mereka tidak mempunyai monopoli atas sumber apapun yang penting bagi Eropa dan bagi Belanda. Selain itu, keluarga raja juga tidak cocok sebagai pialang politik maupun sebagai penjamin kestabilan politik dalam negeri. Tindakan ini mengakibatkan krisis yang cukup berarti dalam sikap keluarga raja terhadap hubungan dengan Belanda.
Keganasan tantangan di Minangkabau terhadap Belanda Utara kesediaan para padri dari Agam Utara dan Lintau untuk ikut Ali Basa, dan rasa tidak puas pada umumnya terhadap langkah-langkah administratif yang di berlakukan di Tanah Datar menyebabkan Alam Bagagar Syah bersedia mempertaruhkan nasibnya dengan para pemberontak. Dia seorang diri dengan kemampuan intelektual yang rendah dengan para penghulu yang mendorongnya untuk percaya bahwa apabi;la Belanda tidak ada lagi bisa mendirikan kembali negara Minangkabau dan memperluasnya berdasarkan pembaharuan Administratif Belanda.
Setelah Ali Basa disingkirkan, Alam Bagagar Syah mengizinkan namanya dipakai untuk mengumpulkan pendukung. Surat atas namanya juga dikirim ke bagian-bagian lain dataran tinggi untuk mendesak tokoh-tokoh penting segera mempersiapkan diri menghadapi hari saat seluruh Minangkabau akan bersatu mengusir Belanda. Salah satu surat ini jatuh ketangan Belanda dan Alam Bagagar Syah ditangkap pada tanggal 2 Mei. Seperti Ali Basa dikirim ke Batavia. [15]
Pada sesudah bulan Juli 1833, meskipun telah mengalami kekalahan yang luar biasa, perjuangan Minangkabau melawan Belanda masih membara dibeberapa tempat didataran Tinggi tengah. Lebih dari lima puluh kota atau Tanah Datar meskipun pertanyaan-pertanyaan anti-Belanda sering berpusat sekitar guru-guru agama, dukungan penghulu selalu diperlukan untuk memberi momentum pada gerakan. Pada akhir tahun 1834, muncul seorang kharismatik diantara Padri di Kamang disebuah desa yang disebut Batu Putih. Ia adalah seorang saleh yang menamakan dirinya daulah dan mengaku bahwa dirinya mendapat wahyu dari Allah. Kepala laras Agam adalah penghianat penduduk dan patut dibunuh karena hubungan mereka dengan Belanda. Berbeda dengan para pemimpin padri pada zaman dulu bertumpu pada tradisi magis tarekat dari zaman pra-Padri. Dia menyatakan dia telah mengelilingi seorang perwiira Belanda Roh-roh jahat yang akan menyebabkan kematian. Orang suci dari Batu putih ini segera mendapat jumlah pengikut para penghulu yang tidak mendapat jabatan kepala desa dan merasa penasaran.

B.     Biografi  Tuanku Imam Bonjol
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada tahun 1772.Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang,  Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.[16]
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalan syariat Islam sesuai dengan Mazhab Wahabi yang waktu itu berkembang di tanah Arab (Arab Saudi sekarang).Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat.Pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar.Sultan Muning Alamsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.[17]
      Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Belanda dalam perjanjian yang ditekan di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Padri. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Padri.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.[18]
Sehingga untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, Belanda menggunakan cara-cara kotor dengan cara mengajak berunding di seikitar Bukit Gadang dan Tujuh Lurah. Dan disitu pulalah Tuanku Imam Bonjol ditangkap pada tanggal 25 Oktober 1937.
Tuanku Imam Bonjol lalu ditawan di Bukit Tinggi lalu diasingkan dari Cianjur lalu ke Ambon dan terakhir di Manado.Tuanku Imam Bonjol akhirnya wafat di Manado pada tanggal 8 November 1864.Pemerintah lalu menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepadanya berdasarkan SK Presiden RI No 087/TK/1973.[19]
Penghargaan dalam Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan. sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November1973. Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia6 November2001.










\


BAB VI
KESIMPULAN
Robert Emerson mendefinisikn naionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan
Nasionalisme Minangkabau dalam hubungan ini tentu masih bercorak ”tradisional”, baik ideologi maupun organisasi dan kepemimpinannya. 
pengertian ’nasionalisme’ Minangkabau yang permanen dan mendasar adalah perlawanan mereka terhadap kehadiran Eropa dan sekutunya yang dipandang merusak identitas mereka sebagai kelompok yang ingin bertahan dan melindungi cita-cita mereka. Ciri utama dari ’nasionalisme Minangkabau’, menurut Dobbin ialah kesinambungan yang jelas dalam cara pengungkapan nasionalisme mereka dengan fenomena sebelum dan sesudahnya. Terutama dari segi ideologi dan kepemimpinan mereka. Paling penting dalam hal ini ialah peranan menonjol dari hubungan guru dan murid dalam tradisi Islam.









DAFTAR PUSTAKA
Adhyaksa Dault.2005. Islam dan Nasionalisme.Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.hal 2
Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press.
Junus, Umar. 1971. Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Marsden. William. 1999. Sejarah Sumatra. Bandung: PT. Remaja Roskar Daya.
Madjolelo datoek, Dawis. 1951. Tuanku Imam Bonjol: Perintis Dajalan ke ke kemerderkaan. Jakarta: Djamabatan. Hal: 63.
Sartono Kartodirjo. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah  Pergerakan Nasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sartono Kartodirjdo, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. GramediaPustaka Utama.
Smith, Anthony D. 2003. Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah. Penerbit Erlangga
www.tokohindonesia.com Imam Bonjol, Tuanku (diakses pada 09 maret 2012)









[2]Marsden. William. 1999. Sejarah Sumatra. Bandung: PT. Remaja Roskar Daya.

[3] Junus, Umar. 1971. Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Penerbit Djambatan. Hal:251
[4]Smith, Anthony D. 2003.Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah. Penerbit Erlangga.
[5]Sartono Kartodirjdo, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. GramediaPustaka Utama.

[6] Adhyaksa Dault.2005. Islam dan Nasionalisme.Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.hal 2
[7]Ibid .hal 2
[8] http://jumardy.wordpress.com/2011/02/28/sejarah-pergerakan-nasional
[9]Sartono Kartodirjo. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah  Pergerakan Nasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
[10]Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press. Hal: 305
[11] Ibid. Hal: 306.
[12]Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press. Hal: 307
[13]Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press. Hal: 305
[14] Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press. Hal: 321
[15]Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press. Hal: 322
[16]Madjolelo datoek, Dawis. 1951. Tuanku Imam Bonjol: Perintis Dajalan ke ke kemerderkaan. Jakarta: Djamabatan. Hal: 63.
[17] Ibid. hal: 79.
[18]Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press. Hal: 305