Senin, 26 Maret 2012

makalah tradisi minangkabau


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sumatera atau Sumatra adalah pulaukeenam terbesar di dunia yang terletak di Indonesia, dengan luas 443.065,8 km2. Penduduk pulau ini sekitar 42.409.510 jiwa (2000). Pulau ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa (bahasa Sanskerta, berarti "pulau emas"). Kemudian pada Prasasti Padang Roco tahun 1286 dipahatkan swarnnabhūmi (bahasa Sanskerta, berarti "tanah emas") dan bhūmi mālayu ("Tanah Melayu") untuk menyebut pulau ini. Selanjutnya dalam naskah Negarakertagama dari abad ke-14 juga kembali menyebut "Bumi Malayu" (Melayu) untuk pulau ini.[1]
Minangkabau disingkat Minang adalah kelompok etnikNusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri). [2]
Selain itu Desa yang disebut nagari dalam Bahasa Minangkabau kadang-kadang terdiri dari dua bagian utama, yaitu daerah nagari dan daerah taratak.Nagari ialah daerah kediaman utama dan dianggap pusat bagi sebuah desa.Halnya berbeda dengan Taratak yang dianggap sebagai daerah hutan dan ladang.Nagari adalah suatu unit pemerintahan terendah di Provinsi Sumatera Barat, bahwa sebutan unit pemerintahan terendah di wilayah Republik Indonesia dapat disesuaikan dengan peristilahan daerah masing-masing sesuai dengan kondisi budaya setempat, seperti sebutan Desa daerah Lampung.[3]Penghidupan penduduk Minangkabau masa dahulu yang terutama bersawah dan berladang. Penduduk pesisir lain dari bertani, mata pencariannya ialah menangkap ikan dan di dalam daerah yang kekurangan tanah diusahakan orang pekerjaan tangan dan pertukangan. Dalam penulisan makalah kali ini penulis memfokuskan bagaimana Munculnya Nasionalisme di Minangkabau dan Tuanku Imam Bonjol.Untuk memberikan pemfokusan dalam kajian kali ini, penulis akan memberikan batasan masalah dalam bentuk rumusan masalah. Rumusan masalah ini akan di sajikan pada point selanjutnya
B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Munculnya Nasionalisme di Minangkabau?
b.      Tokoh Nasionalisme di Minangkabau?
c.       Peranan Tuanku Imam Bonjol?
C.    Tujuan dan manfaat Penelitian
a.       Untuk mengetahui munculnya Nasionalisme di Minangkabau
b.      Untuk memahami perjuangan tokoh nasionalisme di Minangkabau?
c.       Untuk mengetahui peranan Tuanku Imam Bonjol
D.    Kerangka Teori
Teori-teori Nasionalisme
Menurut Anthony D. Smith, definisi kerja nasionalisme adalah “suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk ‘bangsa’ yang aktual atau ‘bangsa’ yang potensial”.Menurut Smith, sasaran umum tempat nasionalisme berupaya mempertinggi derajat bangsa adalah: otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional.[4]Perbedaan Teori Marx dan Gellener sebagai hak yang sering dengan proses Industralisasi. Teori Marx menjadikan nasionalisme mempunyai nilai lebih.
E.     Metode Penelitian
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal penyusunan makalah Penulis langsung ke perpustakaan.Penelitian ini menggunakan pendekatan diakronis Pendekatan tersebut dilakukan dengan metode Pengamatan yang dilakukan.Dokumentasi didapatkan dari buku dan internet.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian sejarah yang terdiri dari berbagai empat tahap:[5]
a.       Heuristik
Tahap Heuristik merupakan tahap pencaharian dan pengumpulan dari berbagai sumber baik yang tertulis atau tercetak (dokumen) maupun yang tidak tertulis, baik primer maupun sekunder.Penulis hanya mengacu pada buku-buku perpustakaan dan dari hasil di intenet, yang menyangkut dengan Munculnya Nasionalisme di Minangkabau.
b.      Kritik
Kritik merupakan meneliti sumber, memverisifikasi dan menyeleksi sumber yang telah di peroleh.kritik sumber, merupakan pengujian  terhadap sumber-sumber yang telah diperoleh. Kritik sumber dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern adalah kritik yang melihat kondisi fisik yang telah ditemukan layak atau tidak sebagai sumber dan untuk mengetahui otentisitas sumber tersebut lebih pada hal-hal yang bersifat materiil seperti jenis kertas, stempel, bentuk huruf, tinta yang digunakan, temporal penulisan, yang dikehendaki, asli atau turunan, dan utuh atau berubah, lengkap tidaknya sumber dan sebagainya. Kritik intern adalah Subtansial, hakikat dari sebuah sumber.Kritik Intern yang dilakukan untuk mengetahui sifat sumber, kesaksian dari sumber, koborasi dan komporasi, kredibilitas dan keakuratan isi sumber yang diperoleh seperti.Dari segi ekstern otentisitas sumber yang didapat tidak diragukan karena didapatkan dari tempat-tempat yang berkompeten yang berada didalam Museum Konferensi Asia Afrika, selembaran yang dikasih dan perpustkaanya.
c.       Interprestasi
Tahap ini merupakan usaha untuk memahami fakta sejarah, memilah dan menetapkannya sebagai sumber, serta menyusun fakta tersebut berdasarkan kronologi peristiwa yang saling berkaitan.Tahap ini dimaksudkan untuk memahami makna yang sebenarnya dari bukti-bukti sejarah yang telah dinilai secara akurat.Hal ini bertujuan untuk membuat hubungan dan merangkaikan fakta sejarah yang sejenis dan kronologis untuk memperoleh alur cerita.
d.      Histografi
Historiografi merupakan kegiatan penulisan sejarah merekonstruksi peristiwa sejarah ke dalam bentuk tertulissehingga dapat dipahami oleh pembaca dengan baik.sumber-sumber sejarah yang ditemukan, dianalisis, dan ditafsirkan selanjutnya ditulis menjadi suatu laporan.
F.     Sistematika Penulisan
Supaya ada gambaran yang utuh mengenai keseluruhan isi laporan, maka perlu dibuat sistematikanya sebagai berikut;
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penelitian
D.    Kerangka Teori
E.     Sistematika Penelitian
F.      Metodelogi Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III PEMBAHASAN
A.    Munculnya Gerakan Nasionalisme di Minangkabau
B.     Biografi Tuanku Imam Bonjol
BAB IV PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Definisi Nasionalisme
Dalam pengertian sosiologis dan antropologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa sebagai satu ras, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat.[6]
Robert Emerson mendefinisikn naionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan.[7]
B.     Beberapa bentuk Nasionalisme yaitu:[8]
Nasionalisme kewarganegaraan (nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, “kehendak rakyat”, “perwakilan politik”. Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-jacques rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudul Du Contact Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia “mengenai kontrak sosial”).
Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat.Dibangun oleh Johan Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk “rakyat”).Kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik.Misalnya “Grimm Bersaudara” yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna kulit, ras, dan sebagainya.
Makna Nasionalisme Istilah nasionalisme digunakan dala rentang arti yang kita gunakan sekarang adalah Suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa, Suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa bersangkutan, Suatu bahasa dan simbolisme bangsa, Suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan, dan suatu doktrin atau ideologi bangsa, baik yang umum maupun yang khusus.
C.    Faktor-Faktor yang mempengaruhi Gerakan Nasionalisme[9]
·         Faktor Intern
a.       Kenangan kejayaan masa lampu
b.      Perasaan senasib dan sepenanggungan akibat penderitaan dan kesengsaraan masa penjajahan
c.       Munculnya golongan cendekiawan
·         Faktor Eksternal
a.       Kemenangan Jepang atas Rusia (1905)
b.      Gerakan Kebangsaan Filipina
c.       Munculnya Paham-paham baru









BAB III
PEMBAHASAN
A.    Munculnya Nasionalisme di Minangkabau
Munculnya gerakan Nasionalisme minangkabau pada tahun 1833, gerakan ini terjadi karena adanya kesinambungan kepemimpinan, upaya paling awal orang-orang Minangkabau untuk mengusir Belanda dari pantai mereka, yaitu peranan menonjol guru dan murid Islam. Di pelabuhan-pelabuhan pantai seperti pariaman dan ulakan di desa-desa dataran rendah. Pada tahun awal 17000an guru-guru tarekat berada digaris depan dalam semua perjuangan untuk mengusir Belanda dari Padang. Pada tahun 1784 mereka melakukan serbuan massal dari dataran tinggi ke Padang. [10]
Sumber kepemimpinan lain untuk gerakan anti-Belanda Pada tahun 1833 berasal dari keluarga raja-raja Minangkabau. Beberapa diantaranya rupanya sudah kesal dengan hubungan dagang mereka dengan voc dan ingin ikut serta dalam jaringan dagang yang lebih terbuka. Untuk mencapai ini, keluarga raja pada waktu-waktu tertentu bersedia bekerjasama dengan guru-guru Islam dan murid-murid mereka. Pada tahun 1713 desa bernama Pau berhasil memperoleh dukungan kemekan Raja Alam Minangkabau yaitu Raja Suruaso berencana untuk menghalau Belanda dari Padang dan membuka pelabuhan untuk perdagangan bebas. Dari tahun 1750-sampai 1770-an, raja Alam sendri ikut serta dalam gerakan-gerakan anti Belanda. Mereka tidak melakukan kekuatan senjata, melainkan mengadakan perundingan diplomatik dengan Inggris di Bengkulen. Raja Alam berharap yang sia-sia bahwa Inggris bisa dibujuk untuk membantu Minangkabau mengusir Belanda, Paling Tidak dari Pariaman dan Tiku.[11]
Ungkapan perasaan nasional Minangkabau tidak hanya terhadap pada sikap bermusuhan terhadap Belanda. Pada Akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, penduduk Minangkabau dipantai Timur Sumatra juga menunjukan rasa tidak suka yang sama didominasi dalam perdagangan wilayah itu. Pada tahun 1680-an terjadi pemberontakan melawan Johor yang dipimpin perorangan yang benar-benar bukan anggota keluarga raja.
Pemberontakan tahun 1833 adalah pemberontakan terakhir yang bercirikan kepemimpinan anggota keluarga raja Minangkabau. Sesudah tahun itu, garis keturunan raja berangsur-angsur mati. Pemberontakan besar setelah sesudah tahun 1833 terjadi pada tahun 1908, faktor yang memicu pemberontakan ini adalah pemberlakuan pajak moneter. Di sisi  lain, kepemimpinan gerakan anti pajak yang dipegang kukuh oleh guru-guru tarekat ini dibantu oleh penghulu suku tertentu. Bahkan kesinambungan geografis juga dipertahankan dengan daerah Agam sebagai pusat gerakan anti pajak. Agam dengan konsisten menunjukan sikap bermusuhan terhadap Belanda sejak tahun 1821. Para pemimpin Minangkabau yang menonjol dalam gerakan nasionalisme se-Indonesia adalah orang-orang yang menjadi Islam sadar atau bagian dari kelompok elit yang berpendidikan barat. Dalam kedua hal ini, wakil-wakil kebanyakan dari desa-desa yang sama di Agam yang sudah begitu lama berjuang melawan Belanda. Pembedaan regional antara Agam dan Tanah Datar berlanjut sampai gerakan nasionalisme se-Indonesia, sebelum menjalin permitraan dagang dengan orang-orang Eropa yang baru tiba. [12]
Adanya Ur-nasionalisme yang terus menerus di Minangkabau memang jelas, seperti halnya dengan geografi nasionalisme. Tahun 1833 adalah pemberontakan menurut tradisi Minangkabau walaupun waktunya merupakan produk situasi sejarah yang khusus. Pada tahun 1833, dataran Tinggi Minangkabau sudah mengalami campur tangan Belanda dalam pemerintahan mereka selama 12 tahun. Campur tangan ini justru menjadi beban berat bagi desa-desa paling ingin bersekutu dengan Belanda. Para pejabat Belanda mendapat kesan bahwa di desa-desa ini pun orang-orang Eropa tidak disukai dan dipandang rendah.
Perasaan tidak puas diseluruh dataran Tinggi disebabkan oleh kebencian terhadap cukai pasar yang dirasakan univesal. Lainya penolakan kebijakan Belanda yang mempersyaratkan apa yang disebut jasa kuli. Desa-desa diwajibkan untuk menjadi pemasok tenaga kerja, baik untuk pembangunan jalan baru, rumah sakit atau untuk mngantarkan barang. Tiap distrik diminta untuk menyediakan sejumlah makan dan peralatan yang disediakan oleh desanya. Perubahan yang berhubungan dengan sistem penghulu. Hal ini mengakibatkan timbulnya rasa benci terhadap sistem baru diantara mereka yang sebetulnya bisa menjadi pendukung sistem itu. Selain itu juga Belanda mencoba ikut campur tangan dalam usahanya mengurangi keuntungan yang bisa diperolehnya. Belanda juga menuai kebencian di desa-desa padri karena menaruh pasukan masjid-masjid yang merupakan gedung terbesar disemua desa juga tidak menyukai kewajiban menerima dan memberi makan serdadu sebagai hukuman bagi yang keras kepala menentang Belanda. [13]
Ada juga keluhan-keluhan yang khusus bersifat ekonomi. Belanda berniat melibatkan diri dalam usaha menghasilkan dan memperdagangkan kopi. Mengekspor gambir dan kopi kepangkalan kota baru dan pantai timur. Upaya menutup rute dagang utama ke timur dan mengalihkannya ke Padang.
Pemberontakan yang pertama meletus di Bonjol pada tahun 1833. pada mulanya pemberontakan ini hanya terbatas di daerah yang berdekatan dengan daerah yang fanatik padri, yaitu Rao, Alahan Panjang, dan Agam Utara. Kepemimpinan inti pemberontakan padri mendapatkan tambahan yang berarti dengan ikut sertanya keluarga raja dalam pemberontakan ini. Pada bulan Febuari 1833 secara terbuka Ali Basa menunjukan sikap meremehkan beberapa perwira Belanda. Ia dilaporkan berbicara tentang dirinya sebagai seorang calon Raja Alam. Pengakuan itu tentu pengertian bahwa ia akan menggunakan pasukannya untuk mengusir Belanda dari dataran tinggi Minangkabau. Akhir Februari 1833 ia merayakan berakhirnya bulan puasa di Pagarruyung, ibukota kerajaan masa lalu, sebagai isyarat menentang pemerintahan Belanda. Menjelaskan kedudukanya kepada keluarga-keluarga paling penting di Tanah Datar. Ia mengundang penghulu yang terkemuka di Lembah itu untuk berteu dan bersantap bersama.
Malang bagi Ali Basa, sebelum kelompok Minangkabau yang terpecah belah bisa bersatu untuk melanjutkan recana mereka melawan Belanda dan mendukungnya dengan pemberontakan yang mencangkup baik Tanah Datar maupun Agam, ia menjadi korban strategi Belanda yang memancing turun ke Padang.  Belanda membujuk Ali Basa pergi dengan alasan untuk merekut lebih banyak tentara Jawa bagi pasukanya. Dia kembali ke Sumatra dengan 200 tentara baru pada bulan Agustus 1833. Akan tetapi, dengan tak terduga dan rasa kesal ia membawa seratus pasukannya untuk di turunkan di sebuah pemukiman terpencil di Bengkule. Ia tinggal sampai ajalnya tiba pada tahun 1854, selalu dibawah pengawasan dan tidak pernah di rehabilitasi. [14]
Ali Basa meninggal warisan politik di Minangkabau. Regen Tanah Datar, Sultan Alam Bagagar Syah mempunyai semua alasan untuk merasa tidak puas terhadap perlakuan Belanda terhadap keluarga Raja. Tidak saja tindakanya dan penghasilannya yang diawasi dengan ketat, tetapi juga selalu diingatkan bahwa dia hanya boneka di tangan orang-orang Eropa. Pada tahun 1832, kepemimpinan Padri merupakan faktor yang jauh lebih penting dalam masyarakat Minangkabau daripada sisa-sisa kerajaan pada zaman lampau. Keluarga raja tidak bisa memonopoli hubungan masyarakat dengan orang-orang Eropa karena mereka tidak mempunyai monopoli atas sumber apapun yang penting bagi Eropa dan bagi Belanda. Selain itu, keluarga raja juga tidak cocok sebagai pialang politik maupun sebagai penjamin kestabilan politik dalam negeri. Tindakan ini mengakibatkan krisis yang cukup berarti dalam sikap keluarga raja terhadap hubungan dengan Belanda.
Keganasan tantangan di Minangkabau terhadap Belanda Utara kesediaan para padri dari Agam Utara dan Lintau untuk ikut Ali Basa, dan rasa tidak puas pada umumnya terhadap langkah-langkah administratif yang di berlakukan di Tanah Datar menyebabkan Alam Bagagar Syah bersedia mempertaruhkan nasibnya dengan para pemberontak. Dia seorang diri dengan kemampuan intelektual yang rendah dengan para penghulu yang mendorongnya untuk percaya bahwa apabi;la Belanda tidak ada lagi bisa mendirikan kembali negara Minangkabau dan memperluasnya berdasarkan pembaharuan Administratif Belanda.
Setelah Ali Basa disingkirkan, Alam Bagagar Syah mengizinkan namanya dipakai untuk mengumpulkan pendukung. Surat atas namanya juga dikirim ke bagian-bagian lain dataran tinggi untuk mendesak tokoh-tokoh penting segera mempersiapkan diri menghadapi hari saat seluruh Minangkabau akan bersatu mengusir Belanda. Salah satu surat ini jatuh ketangan Belanda dan Alam Bagagar Syah ditangkap pada tanggal 2 Mei. Seperti Ali Basa dikirim ke Batavia. [15]
Pada sesudah bulan Juli 1833, meskipun telah mengalami kekalahan yang luar biasa, perjuangan Minangkabau melawan Belanda masih membara dibeberapa tempat didataran Tinggi tengah. Lebih dari lima puluh kota atau Tanah Datar meskipun pertanyaan-pertanyaan anti-Belanda sering berpusat sekitar guru-guru agama, dukungan penghulu selalu diperlukan untuk memberi momentum pada gerakan. Pada akhir tahun 1834, muncul seorang kharismatik diantara Padri di Kamang disebuah desa yang disebut Batu Putih. Ia adalah seorang saleh yang menamakan dirinya daulah dan mengaku bahwa dirinya mendapat wahyu dari Allah. Kepala laras Agam adalah penghianat penduduk dan patut dibunuh karena hubungan mereka dengan Belanda. Berbeda dengan para pemimpin padri pada zaman dulu bertumpu pada tradisi magis tarekat dari zaman pra-Padri. Dia menyatakan dia telah mengelilingi seorang perwiira Belanda Roh-roh jahat yang akan menyebabkan kematian. Orang suci dari Batu putih ini segera mendapat jumlah pengikut para penghulu yang tidak mendapat jabatan kepala desa dan merasa penasaran.

B.     Biografi  Tuanku Imam Bonjol
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada tahun 1772.Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang,  Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.[16]
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalan syariat Islam sesuai dengan Mazhab Wahabi yang waktu itu berkembang di tanah Arab (Arab Saudi sekarang).Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat.Pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar.Sultan Muning Alamsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.[17]
      Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Belanda dalam perjanjian yang ditekan di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Padri. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Padri.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.[18]
Sehingga untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, Belanda menggunakan cara-cara kotor dengan cara mengajak berunding di seikitar Bukit Gadang dan Tujuh Lurah. Dan disitu pulalah Tuanku Imam Bonjol ditangkap pada tanggal 25 Oktober 1937.
Tuanku Imam Bonjol lalu ditawan di Bukit Tinggi lalu diasingkan dari Cianjur lalu ke Ambon dan terakhir di Manado.Tuanku Imam Bonjol akhirnya wafat di Manado pada tanggal 8 November 1864.Pemerintah lalu menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepadanya berdasarkan SK Presiden RI No 087/TK/1973.[19]
Penghargaan dalam Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan. sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November1973. Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia6 November2001.










\


BAB VI
KESIMPULAN
Robert Emerson mendefinisikn naionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan
Nasionalisme Minangkabau dalam hubungan ini tentu masih bercorak ”tradisional”, baik ideologi maupun organisasi dan kepemimpinannya. 
pengertian ’nasionalisme’ Minangkabau yang permanen dan mendasar adalah perlawanan mereka terhadap kehadiran Eropa dan sekutunya yang dipandang merusak identitas mereka sebagai kelompok yang ingin bertahan dan melindungi cita-cita mereka. Ciri utama dari ’nasionalisme Minangkabau’, menurut Dobbin ialah kesinambungan yang jelas dalam cara pengungkapan nasionalisme mereka dengan fenomena sebelum dan sesudahnya. Terutama dari segi ideologi dan kepemimpinan mereka. Paling penting dalam hal ini ialah peranan menonjol dari hubungan guru dan murid dalam tradisi Islam.









DAFTAR PUSTAKA
Adhyaksa Dault.2005. Islam dan Nasionalisme.Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.hal 2
Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press.
Junus, Umar. 1971. Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Marsden. William. 1999. Sejarah Sumatra. Bandung: PT. Remaja Roskar Daya.
Madjolelo datoek, Dawis. 1951. Tuanku Imam Bonjol: Perintis Dajalan ke ke kemerderkaan. Jakarta: Djamabatan. Hal: 63.
Sartono Kartodirjo. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah  Pergerakan Nasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sartono Kartodirjdo, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. GramediaPustaka Utama.
Smith, Anthony D. 2003. Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah. Penerbit Erlangga
www.tokohindonesia.com Imam Bonjol, Tuanku (diakses pada 09 maret 2012)









[2]Marsden. William. 1999. Sejarah Sumatra. Bandung: PT. Remaja Roskar Daya.

[3] Junus, Umar. 1971. Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Penerbit Djambatan. Hal:251
[4]Smith, Anthony D. 2003.Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah. Penerbit Erlangga.
[5]Sartono Kartodirjdo, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. GramediaPustaka Utama.

[6] Adhyaksa Dault.2005. Islam dan Nasionalisme.Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.hal 2
[7]Ibid .hal 2
[8] http://jumardy.wordpress.com/2011/02/28/sejarah-pergerakan-nasional
[9]Sartono Kartodirjo. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah  Pergerakan Nasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
[10]Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press. Hal: 305
[11] Ibid. Hal: 306.
[12]Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press. Hal: 307
[13]Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press. Hal: 305
[14] Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press. Hal: 321
[15]Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press. Hal: 322
[16]Madjolelo datoek, Dawis. 1951. Tuanku Imam Bonjol: Perintis Dajalan ke ke kemerderkaan. Jakarta: Djamabatan. Hal: 63.
[17] Ibid. hal: 79.
[18]Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, kebangkitan Islam, dan gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. London: Curzon Press. Hal: 305

Tidak ada komentar:

Posting Komentar